Tenggelamnya Jakarta Karena Siapa?

  • Bagikan
Gambar Kota Jakarta. Dok. Istimewa

JATENG.ORG — Jakarta, ibu kota Indonesia, menghadapi ancaman serius akibat penurunan permukaan tanah yang semakin parah. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini telah menjadi perhatian luas, dengan laporan menunjukkan bahwa Jakarta mengalami penurunan tanah antara 10 hingga 28 sentimeter per tahun di berbagai wilayah.

Penurunan ini tidak hanya mengancam infrastruktur kota, tetapi juga kehidupan sehari-hari jutaan warganya.

Salah satu penyebab utama penurunan tanah di Jakarta adalah eksploitasi berlebihan terhadap air tanah. Sekitar 60% kebutuhan air di Jakarta dipenuhi dari sumber ini, dan penggunaan yang tidak terkontrol telah menyebabkan dampak lingkungan yang signifikan.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa penurunan muka tanah di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh faktor antropogenik, terutama pengambilan air tanah secara berlebihan.

Selain itu, kondisi geologis Jakarta yang terletak di dataran rendah dan didominasi oleh tanah sedimen aluvial membuatnya sangat rentan terhadap penurunan.

Proses kompaksi alami tanah juga berkontribusi pada masalah ini, di mana beban bangunan dan aktivitas manusia lainnya menambah tekanan pada lapisan tanah yang sudah lemah.

Dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kebutuhan akan ruang tinggal dan fasilitas umum semakin meningkat, sehingga memperburuk situasi.

Data terbaru menunjukkan bahwa beberapa wilayah di Jakarta Utara mengalami penurunan hingga 12 sentimeter per tahun. Wilayah-wilayah seperti Penjaringan dan Cilincing menjadi titik paling parah yang terpengaruh.

Dalam laporan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, rata-rata penurunan permukaan tanah sepanjang tahun 2023 mencapai 3,9 sentimeter. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk mengurangi eksploitasi air tanah, dampaknya masih sangat terasa.

Pemerintah DKI Jakarta telah mencoba berbagai langkah mitigasi untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah penerapan Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah, yang melarang penggunaan air tanah di bangunan tertentu.

Namun, tantangan tetap ada karena banyak pemilik bangunan masih melakukan pengambilan air tanpa izin atau tidak terdaftar.

Banjir rob juga menjadi masalah tambahan yang diperburuk oleh penurunan permukaan tanah. Fenomena ini sering terjadi di pesisir Jakarta ketika pasang laut tinggi menyebabkan genangan air di jalan-jalan dan permukiman.

Pejabat Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini memberikan arahan untuk meninkatkan koordinasi antara instansi terkait guna menangani banjir rob secara lebih efektif.

Dalam konteks global, isu tenggelamnya Jakarta menarik perhatian internasional. Banyak ahli lingkungan memperingatkan bahwa jika tidak ada tindakan signifikan yang diambil, Jakarta dapat menjadi salah satu kota pertama yang tenggelam akibat perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya air yang buruk.

Ini menjadi panggilan bagi pemerintah untuk segera bertindak demi menyelamatkan kota yang dihuni lebih dari 10 juta orang ini.

Krisis ini juga memicu diskusi tentang perlunya pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan air dan pembangunan infrastruktur.

Penggunaan air permukaan sebagai alternatif sumber air bersih harus dipertimbangkan agar ketergantungan pada air tanah dapat dikurangi.

Selain itu, pemantauan terus menerus terhadap laju penurunan muka tanah sangat penting untuk menilai efektivitas langkah-langkah mitigasi yang diterapkan.

Dengan semua tantangan ini, masa depan Jakarta sebagai salah satu kota terbesar dan terpenting di Asia Tenggara berada dalam ketidakpastian.

Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta diperlukan untuk menciptakan solusi jangka panjang yang dapat mengatasi masalah penurunan permukaan tanah dan menjaga keberlanjutan kota ini bagi generasi mendatang.

Editor: Nur Ardi, Tim Jateng.org

Penulis: Dikie ValentinoEditor: Nur Ardi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *