JATENG.ORG — Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Prabowo-Gibran menarik banyak perhatian masyarakat dengan adanya anggota TNI-Polri yang menjadi bagian dari kabinet tersebut.
Akhir-akhir ini yang sedang ramai diperbincangkan oleh publik ialah pengangkatan Mayor (Inf) Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) di mana hal ini mengundang banyak kritik dari berbagai pihak.
Menurut Peneliti Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, pengangkatan Mayor (Inf) Teddy Indra Wijaya sebagai Seskab itu melanggar Undang-undang TNI. Mengapa demikian?
Pasalnya, Mayor (Inf) Teddy Indra Wijaya masih aktif berkecimpung sebagai anggota perwira menengah aktif TNI Angkatan Darat dan sebab itulah ia dianggap melanggar Undang-undang TNI yang sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Undang-undang tersebut mengatur bahwa prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan (Fakta.com, 2024).
Salah satu yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah Mayor (Inf) Teddy Indra Wijaya yang tidak melepas jabatan militernya pasca dilantik menjadi Seskab.
Hal ini membuat masyarakat mulai berpikir bahwa Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) akan diberlakukan lagi. Apa sebenarnya dwifungsi ABRI itu?
Dwifungsi ABRI merupakan konsep yang menyatakan bahwa ABRI memiliki dua peran, yakni menjaga stabilitas dan keamanan negara, serta mengendalikan dan mengatur pemerintahan negara.
Dwifungsi ABRI berasal dari sebuah ideologi yang beranggapan bahwa ABRI wajib ikut dalam menjaga kestabilan politik dan sosial di Indonesia, yang dianggap sebagai syarat penting untuk pembangunan negara.
Pemikiran ini dipakai untuk membenarkan partisipasi militer dalam berbagai aspek politik, seperti mengisi posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan legislatif.
Konsep Dwifungsi ABRI mulai berlaku pada masa pemerintahan Demokrasi Pancasila atau yang kerap disebut Orde Baru. Dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Jenderal A.H. Nasution pada 12 November 1958 yang kemudian konsep tersebut diangkat kembali dan dilaksanakan oleh Soeharto pada masa Orde Baru.
Konsep ini mulai diterapkan secara resmi selama pemerintahan Soeharto setelah ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966. Soeharto menganggap bahwa ABRI tidak hanya berfungsi untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga harus terlibat dalam stabilitas politik dan pembangunan sosial-ekonomi.
Penerapan Dwifungsi ABRI ini dianggap penting untuk menjaga keamanan dan stabilitas negara setelah Indonesia mengalami ketidakstabilan politik pasca-kemerdekaan, terutama selama periode konflik politik dan sosial di bawah Presiden Soekarno.
Soeharto melihat peran ganda ini sebagai cara untuk menghindari disintegrasi negara dan memperkuat pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, ABRI memainkan peran dominan dalam stabilitas politik dengan banyak anggota militer yang terlibat dalam pemerintahan dan birokrasi.
ABRI menjadi salah satu kekuatan pemerintahan, selain Partai Golkar dan birokrasi. Mengutip dari Kumparan.com, sejak tahun 1970-an banyak anggota ABRI yang ditunjuk menjadi anggota DPR, MPR, dan DPD tingkat provinsi.
Tak hanya itu, ABRI juga melaksanakan langkah-langkah dwifungsi lainnya seperti ABRI Masuk Desa (AMD), menyatukan doktrin ABRI (Catur Darma Eka Karma), dan meninggikan kedudukan lembaga pertahanan keamanan.
Pemberlakuan Dwifungsi ABRI mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1990-an, di mana anggota ABRI memegang berbagai peranan politik di pemerintahan mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, sampai menteri di kabinet Soeharto (Kompas.com, 2021).
Dengan diberlakukannya Dwifungsi ABRI, dampaknya terasa langsung oleh masyarakat sipil. Jatah kursi dalam sektor pemerintahan untuk masyarakat sipil berkurang karena banyak diduduki oleh anggota ABRI.
Terkikisnya demokrasi pun juga terjadi akibat dari anggota ABRI yang turut memegang kekuasaan negara. Selain itu, dalam kendali ABRI ini sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sehingga kerusuhan sering muncul.
ABRI yang membawa senjata dinilai terlalu agresif ketika terlibat dalam masalah sipil negara (Kompas.com, 2021).
Maka dari itu, Dwifungsi ABRI secara bertahap mulai dihilangkan sejalan dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Penghilangan ini dimulai khususnya pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat dari tahun 1999 sampai 2001.
Gus dur mereformasi ABRI dengan memisahkan TNI dan Polri serta mencabut Dwifungsi ABRI. Ketika Gus Dur mencabut Dwifungsi ABRI secara resmi, hal itu mengakibatkan ABRI harus mekepaskan perannya dalam sektor social-politik dan sejak saat itu tidak lagi ikut serta dalam politik partisan ataupun menempati jabatan sipil.
Tentang Penulis:
Perkenalkan nama saya Safira Athaya Ciela Adiatmaja. Saya berasal dari Yogyakarta. Saat ini saya adalah mahasiswa aktif semester satu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Membahas terkait hobi, hobi saya adalah membaca buku bergenre Sejarah atau biografi tokoh militer terkenal.